Perspectives and aspirations of adolescent girls on child marriage

Prof Irwanto, Catherine Thomas, Aida Nafisah, Mega Puspitasari, Siti Halimatussa’diyah, Baiq Fitriatun Wahyuni, Dyah Ayu Suryani Setya, Julia Candra Malida

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggali persepsi dan aspirasi remaja perempuan tentang pernikahan. Hasil penelitian ini bertujuan untuk memperkuat argumentasi advokasi, bahan kampanye dan mendorong perubahan sosial menuju norma-norma sosial yang positif dalam upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak dan kekerasan berbasis gender.

Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method (metode campuran). Survei kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan data tentang perspektif dan aspirasi anak perempuan tentang pernikahan, persepsi risiko, pengubah persepsi, serta mediator pernikahan anak. Metode kualitatif yang digunakan meliputi Focus Group Discussions (diskusi kelompok terfokus) dan wawancara untuk menggali lebih jauh persepsi dan aspirasi remaja perempuan tentang pernikahan, pengubah persepsi, dan mediator pernikahan anak. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2020 di tiga kabupaten di Jawa Barat (Bogor, Bandung, dan Indramayu), dan pada Februari 2020 di dua kabupaten di Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat, dan Lombok Utara).

Proyek ini melibatkan total 108 anak perempuan yang sudah menikah (Jawa Barat: 75 anak perempuan dan Nusa Tenggara Barat: 33 anak perempuan), 141 anak perempuan yang belum menikah (Jawa Barat: 106 anak perempuan dan Nusa Tenggara Barat: 35 anak perempuan), 47 orang tua dari anak perempuan yang sudah menikah (Jawa Barat: 28 orang tua dan Nusa Tenggara Barat: 19 orang tua), 62 orang tua dari anak perempuan yang belum menikah (Jawa Barat: 45 orang tua dan Nusa Tenggara Barat: 17 orang tua), dan 13 orang influencer (Jawa Barat: 9 orang influencer dan Nusa Tenggara Barat: 4 influencer).

Sebagian besar responden anak perempuan yang sudah menikah dari kedua lokasi dalam penelitian ini hanya menikah secara agama atau tidak tercatat sama sekali: hanya 4% anak perempuan dari Jawa Barat yang melaporkan telah menikah secara sipil, sedangkan tidak ada anak perempuan dari Nusa Tenggara Barat yang pernah menikah. pernikahan sipil.

Akibat menikah di usia muda, sebagian besar anak perempuan mengalami putus sekolah (72,7% di Nusa Tenggara Barat dan 60% di Jawa Barat), kekerasan dalam rumah tangga (45,5% di Nusa Tenggara Barat, dan 34,7% di Jawa Barat), masalah kesehatan (30,70% di Jawa Barat dan 21,2% di Nusa Tenggara Barat), dan penelantaran (22,7% di Jawa Barat dan 3% di Nusa Tenggara Barat).

Persepsi remaja perempuan-remaja perempuan muda tentang pernikahan

Sebelum menikah, sebagian besar remaja perempuan menganggap pernikahan itu bahagia, selalu bersama pasangan, dan memiliki pemberi nafkah. Meskipun demikian, beberapa remaja perempuan mengaku memiliki lebih banyak kesulitan keuangan dalam pernikahan. Sebagian besar remaja perempuan dalam kelompok yang sudah menikah mengalami perubahan persepsi tentang pernikahan; bahwa pernikahan sekarang dianggap sebagai pembatasan sosial (yaitu tidak ada waktu untuk bermain [mengunjungi teman, memiliki teman datang, berjalan-jalan]), memiliki masalah keuangan, dan lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Namun demikian, beberapa anak perempuan menganggap situasi mereka saat ini lebih bahagia atau lebih puas karena situasi keluarga mereka yang sekarang lebih baik daripada kondisi keluarga asli mereka sendiri (misalnya ekonomi yang lebih baik).

Tema khusus yang muncul di Nusa Tenggara Barat saat ini pada persepsi tentang pernikahan adalah penerimaan situasi oleh remaja perempuan, di mana seorang pria menculiknya dari rumahnya untuk menikahinya. Tradisi yang disebut dengan tradisi merari’ ini merupakan praktik khusus di Lombok, Nusa Tenggara Barat, di mana seorang remaja perempuan diculik dari rumahnya oleh seorang pria yang ingin menjadi suaminya. Tradisi ini awalnya merupakan amalan untuk menjaga harga diri dan kejantanan seorang pria Sasak, karena telah berhasil kawin lari dengan remaja perempuan yang disukainya. Namun akhir-akhir ini, praktik tersebut menjadi sarana untuk melakukan hal-hal lain yang tidak semestinya (misalnya balas dendam atau mendapatkan kembali mantan pacar).

Serupa dengan persepsi kelompok yang sudah menikah tentang pernikahan, kelompok perempuan yang belum menikah juga menganggap pernikahan identik dengan kebahagiaan, kebersamaan, dan memiliki seseorang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Selain tema-tema tersebut, ada tema-tema tertentu yang menjadi tanggapan muncul di setiap lokasi penelitian. Tema pernikahan sebagai kombinasi kebahagiaan dan tantangan secara khusus hanya disebutkan di Nusa Tenggara Barat; sedangkan tema perkawinan yang identik dengan memiliki keturunan, ketundukan kepada suami, dan kemesraan khususnya hanya muncul di Jawa Barat.

Persepsi khusus tentang pernikahan sebagai panggilan agama disebutkan oleh remaja perempuan di kedua wilayah tersebut. Remaja perempuan yang belum menikah secara khusus menyebut pernikahan sebagai cara untuk memenuhi kewajiban mereka, untuk menemukan ridho (berkah) Tuhan, dan untuk menyelesaikan tuntutan agama mereka.

Persepsi remaja perempuan tentang penundaan pernikahan

Persepsi remaja perempuan menunda pernikahan tidak dianggap wajar dalam komunitasnya karena: gagasan untuk bertemu orang yang disukai (misalnya mengapa menunda jika sudah bertemu orang yang disukai), gosip tetangga (misalnya tetangga akan bergosip saat remaja perempuan belum menikah), seorang remaja perempuan akan dianggap perawan tua/perawan tua, dan pernikahan usia dini adalah hal biasa di desa mereka.

Selain itu, remaja perempuan dibesarkan untuk menikah sebagai cara untuk mencegah kejadian di masa depan yang kemungkinan akan terjadi (misalnya melakukan perzinahan dan kehamilan yang tidak diinginkan).

Persepsi remaja perempuan yang sudah menikah tentang hal-hal yang ingin mereka capai

Remaja perempuan merasa bahwa ada hal-hal yang mereka cita-citakan, tapi entah mengapa belum tercapai karena sudah menikah. Cita-cita tersebut adalah: mendapatkan pekerjaan yang layak, menyelesaikan sekolah atau mengejar gelar yang lebih tinggi, memiliki rumah, dan bermain.

Aspirasi untuk menikah

Meskipun sebagian besar remaja perempuan yang sudah menikah dan belum menikah dari Jawa Barat tidak bercita-cita untuk menikah sebelum berusia 19 tahun, sebagian besar remaja perempuan yang sudah menikah di Lombok menjawab bahwa mereka ingin menikah sebelum berusia 19 tahun. Sebaliknya, remaja perempuan yang belum menikah mengakui bahwa mereka tidak ingin menikah sebelum mereka mencapai usia 19 tahun dari kedua wilayah tersebut. Di kedua wilayah tersebut, faktor utama yang mendorong remaja perempuan yang sudah menikah untuk bercita-cita menikah sebelum berusia 19 tahun adalah untuk meringankan beban orang tua.

Di antara remaja perempuan sudah menikah yang tidak memiliki aspirasi ingin menikah, alasan mereka menikah berbeda di kedua lokasi penelitian, kecuali alasan kehamilan yang tidak diinginkan. Kekuatan pendorong utama bagi anak perempuan di Jawa Barat adalah paksaan/saran/pengaturan dari orang tua dan/atau laki-laki. Sebaliknya, di Nusa Tenggara Barat, tema yang diangkat adalah praktik merari’. Meskipun ada perbedaan, alasan umum bagi remaja perempuan di kedua situs yang tidak bercita-cita untuk menikah tetapi akhirnya menikah adalah karena paksaan dari laki-laki.

Persepsi risiko

Di semua kelompok responden, mispersepsi secara konsisten terjadi terkait masalah PMS (Penyakit Menular Seksual) dan berat bayi baru lahir yang rendah. Selain itu, data menunjukkan bahwa dua kelompok dengan persepsi risiko paling rendah adalah anak perempuan yang sudah menikah dan orang tua dari anak perempuan yang sudah menikah.

Pengubah persepsi

Pengubah persepsi yang diidentifikasi melalui penyelidikan kuantitatif dan kualitatif adalah: (1) Keluarga dan anggota masyarakat (termasuk anak laki-laki/laki-laki dan orang tua mereka, dan orang tua dari anak perempuan); (2) remaja perempuan muda; (3) Kelompok Pemuda (Karang Taruna, Forum Anak, dll); (4) Orang yang selamat dari pernikahan anak; (5) Keluarga penyintas perkawinan anak; (6) Pemuka agama (termasuk yang informal, misalnya guru tajwid); (7) Majelis Ulama Indonesia atau lembaga keagamaan sejenis lainnya yang memiliki reputasi baik; (8) Fasilitas Kesehatan Daerah (Puskesmas, Posyandu); (9) Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK (Gerakan Keluarga Sejahtera); (10) KPPAD (Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Desa); (11) Perangkat Desa; (12) Lembaga pendidikan formal/informal; dan (13) Industri sekitar. Selain itu, pengubah persepsi yang secara khusus diidentifikasi di Nusa Tenggara Barat termasuk tokoh masyarakat/tradisional (misalnya Tokoh Adat) dan tokoh agama yang sangat dihormati (misalnya Tuan Guru).

Mediator pernikahan anak

Orang-orang yang memungkinkan terjadinya perkawinan anak yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: wali nikah, pemuka adat dan agama (terkenal di Lombok), orang tua (lebih terpandang di Jawa Barat). Sedangkan kondisi tertentu yang menempatkan remaja perempuan dalam risiko menjadi pengantin muda meliputi: hukuman, perselisihan antara orang-orang yang berpengaruh, putus sekolah, kurangnya akses jalan ke desa, menaikkan usia minimum pernikahan anak tanpa mendidik anggota masyarakat dengan baik, kesempatan kerja (yang juga memberikan kesempatan bagi laki-laki muda untuk memperoleh pekerjaan dan memungkinkan mereka untuk menikah di usia muda), dan kepercayaan serta praktik budaya tertentu.

Rekomendasi

Rekomendasi penelitian ini mencakup target audiens dan topik program ke depan, pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam kerjasama untuk mengakhiri pernikahan anak, dan isu-isu untuk advokasi. 

1. Program harus menargetkan anggota masyarakat (termasuk orang tua dari anak laki-laki dan perempuan, dan anak laki-laki dan perempuan itu sendiri) dan pemberi pengaruh untuk: (a) memperbaiki kesalahan persepsi umum terkait pernikahan anak (misalnya tidak ada hak yang diambil dari anak, anak perempuan siap menikah setelah mereka mendapatkan menstruasi); (b) edukasi tentang risiko dan dampak kesehatan pernikahan anak serta manfaat menunda pernikahan. Program-program tersebut dapat disampaikan melalui acara formal dan informal.

2. Kerjasama harus dilakukan dengan berbagai influencer: tokoh agama, tokoh adat, lembaga agama, korban pernikahan anak dan anggota keluarganya, pusat kesehatan (Puskesmas, Posyandu), struktur PKK yang ada, kelompok pemuda (Karang Taruna, Forum Anak ), dan industri sekitarnya.

3. Advokasi harus mencakup setidaknya empat isu utama: (a) bagi pemerintah untuk menyediakan mekanisme pelaporan pejabat yang meresmikan pernikahan yang melibatkan anak-anak; (b) bagi aparat desa untuk merencanakan sebelumnya dan mengalokasikan waktu anggaran desa untuk mengurangi dan mencegah pernikahan anak (misalnya untuk mendanai pelatihan hard skill, Kejar Paket); (c) agar peraturan desa diterbitkan di setiap desa; dan (d) khususnya relevan dengan Nusa Tenggara Barat, advokasi harus dilakukan agar hukum adat diperbarui untuk mencegah, bukan mendorong pernikahan anak. Pendekatan juga harus dilakukan kepada pemimpin adat untuk segera memisahkan remaja perempuan-remaja perempuan di bawah umur yang dibawa pergi dari rumahnya.