Prof. Irwanto, Ph.D
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Penelitian diawali dengan konsiderasi bahwa Jakarta merupakan ibu kota Republik Indonesia dengan populasi lebih dari 12 juta pada hari kerja. Dengan jumlah populasi yang besar, pengelolaan sampah di kawasan padat penduduk merupakan hal yang rumit bagi pemerintah provinsi. Selain itu, mulai adanya pelibatan anak sebagai pekerja yang bertugas untuk mengumpulkan sampah secara mandiri maupun sebagai bagian dari tenaga kerja keluarga. Anak-anak bertugas untuk memungut sampah, memilah dan mengemas kembali barang-barang yang terkumpul untuk dijual ke perantara atau ke perusahaan daur ulang. Padahal, pekerjaan anak dalam sektor limbah atau sampah dianggap berbahaya oleh ILO Convention No 182 (International Labour Organisation, 1999).
Pada tahun 2014, Bapak Joko Widodo beserta Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melakukan reformasi dengan meningkatkan gaji minimum pekerja untuk membersihkan jalan, memelihara saluran air dan drainase di wilayah kota. Bekerja sama pula dengan berbagai pihak untuk membantu proyek pengelolaan sampah, khususnya di Jakarta Utara. Terdapat pula perusahaan Fortum dari Finlandia yang menjadi pelopor dalam penerapan energi pintar, untuk menciptakan energi berkelanjutan bagi manusia. Jakarta Utara menghasilkan kurang lebih 996,65 ton sampah per hari, atau sekitar 18% dari total jumlah sampah di Jakarta. Berbeda dengan kabupaten lainnya, Jakarta Utara merupakan kecamatan yang paling efektif dalam mengangkut sampahnya, karena sisa sampah yang belum terangkut setiap hari hanya berjumlah 1,9 ton.
Sebagai bagian dari keterlibatan mereka di Jakarta untuk meningkatkan pengelolaan sampah, Fortum tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang rantai pasokan yang terkait dengan manajemen sampah di Sunter dan bagaimana anak-anak dapat terkena dampak negatifnya. Oleh karena itu, Fortum berkolaborasi dengan Save the Children dalam sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan situasi yang ada.
Terdapat empat tujuan utama dalam penelitian ini. Diantaranya (1) untuk mendapatkan analisis pada rantai pasokan limbah di setiap distrik; (2) untuk mengidentifikasi alasan dasar keterlibatan anak-anak, termasuk mengidentifikasi resiko dan kerentanan yang terjadi; (3) untuk menggali lebih dalam persepsi orang tua dan stakeholders terkait keterlibatan anak dalam proses pengolahan limbah; (4) untuk mengetahui lebih dalam terkait protokol yang ada mengenai hak asasi anak dan pengaturan limbah. Tujuan ini memerlukan pandangan makro mengenai rantai pasok sampah di Jakarta Utara dan kebijakan nasional mengenai pekerja anak dan pengelolaan sampah, serta pendekatan mikro untuk memahami kehidupan anak-anak yang terlibat dalam pengolahan sampah dan persepsi orang dewasa di sekitarnya tentang keterlibatan mereka.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, pengambilan data dilakukan dengan mendatangi setiap kecamatan dan melakukan wawancara dengan anak-anak yang terlibat dalam pihak-pihak yang melakukan pekerjaan pengelolaan sampah, yaitu anak, orang tua, dan sejumlah pemangku kepentingan. Selain itu juga berhubungan dengan agensi lingkungan, waste bank official dan perantara daur ulang. Selain wawancara, akan dilakukan observasi minimal satu anak selama satu hari di setiap kecamatan, seperti mengabadikan aktivitas saat bekerja dan di rumah. Penelitian menunjukkan beberapa hasil pada setiap tujuan, pada bagian ini akan membahas secara singkat pada setiap tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan
Tujuan 1: Mendapatkan analisis pada rantai pasokan limbah di setiap distrik
Model rantai pasokan limbah ini didapatkan dari hasil wawancara dengan karyawan dari Badan Lingkungan Hidup di enam sub-distrik, karyawan tempat pengumpulan limbah, pemilik bisnis daur ulang pribadi, serta anak-anak yang terlibat. Namun tidak ditemukan anak-anak yang bekerja dalam rantai pasokan limbah di Pademangan.
Berdasarkan hasil analisis kami, rantai pasokan limbah ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat: 1) Tingkat 1: limbah/sampah ditemukan dan diproses; 2) limbah dikumpulkan dan diatur; 3) limbah diproses untuk daur ulang; 4) limbah yang dikumpulkan dikirimkan ke industri-industri pendaur ulang atau dibuang ke TPA Bantar Gebang, Bekasi.
Tujuan 2 : Identifikasi alasan dasar keterlibatan anak-anak, termasuk mengidentifikasi resiko dan kerentanan yang terjadi
Berdasarkan hasil wawancara dengan anak, peneliti mendapatkan data terkait jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status, tipe sampah yang dikumpulkan, jam kerja, masalah kesehatan, faktor yang mendukung anak untuk bekerja, pengaturan tempat tinggal (living arrangement) dan kegiatan anak selain mengelola limbah dan sampah.
Ditemukan bahwa alasan dasar anak dilibatkan untuk bekerja karena adanya anggapan anak adalah pekerja mandiri, dan pekerja keluarga. Selain itu, bekerja sebelum dan sesuai sekolah adalah hal yang umum, kehadiran mereka mengisi kesenjangan pengelolaan sampah oleh pemerintah dan sektor formal dan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berada dalam lingkungan yang berbahaya.
Tujuan 3 : Persepsi orang tua dan stakeholders terkait keterlibatan anak dalam proses pengolahan limbah
Analisis terhadap data kualitatif yang dikumpulkan dari wawancara dengan orang tua menunjukkan bahwa adanya dua persepsi yang berbeda terhadap keterlibatan anak dalam pengumpulan limbah. Persepsi positif yang dimiliki orang tua mencakup: 1) pekerjaan halal; 2) membantu kebutuhan finansial. Namun ada juga orang tua yang memiliki Persepsi negatif terhadap kegiatan pengumpulan limbah yang dilakukan anak, yaitu ketakutan terhadap keamanan anak (contohnya: takut diculik, disuruh melakukan kejahatan oleh orang lain), tetapi pada akhirnya mereka tetap memperbolehkan anak-anak mereka untuk mengumpulkan limbah.
Berdasarkan hasil survei yang bertujuan untuk melihat persepsi para stakeholders terkait keterlibatan anak dalam pengumpulan limbah, semua stakeholders yang berasal dari lembaga pemerintahan menganggap bahwa anak-anak seharusnya tidak boleh bekerja. Mereka menganggap bahwa anak-anak seharusnya menjalankan kewajibannya untuk belajar, dan anak-anak di bawah umur yang bekerja merupakan pelanggaran hukum.
Kebalikan dari stakeholders pemerintahan, stakeholders yang berasal dari industri daur ulang mandiri cukup suportif terhadap keterlibatan anak-anak dalam pengumpulan limbah, karena mereka menganggap bahwa anak-anak tersebut mendapatkan uang untuk membantu keluarga, dan anak-anak tersebut dapat merasa mandiri. Namun, ada beberapa stakeholders yang berpikir bahwa keterlibatan anak-anak dalam bidang ini dianggap kurang efektif, karena anak-anak dinilai tidak sekuat orang dewasa pada umumnya. Selain itu, stakeholders ini juga sudah mengetahui bahwa anak-anak di bawah umur yang bekerja merupakan suatu pelanggaran hukum.
Tujuan 4 : Protokol yang ada mengenai hak asasi anak dan pengaturan limbah
Sebuah survei nasional tentang pekerja anak dan pekerja anak dilakukan oleh Badan Pusat Statistik & Internasional Organisasi Ketenagakerjaan, (2009). Statistik ini menunjukkan bahwa ada 4.528.400 (2.612.600 laki-laki dan 1.915.800 perempuan) anak yang bekerja. Di antara
mereka 1.755.300 (977,1 laki-laki dan 778,2 perempuan) dianggap memiliki pekerjaan yang buruk untuk anak.
Terdapat aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti (1) Ratification of UN Convention, (2) Dalam peraturan keluarga dan anak (RPJMD 2013-2017) (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2013b) (3) Dalam peraturan manajemen sampah. Pada bagian ini, peneliti juga telah menemukan dan menjabarkan beberapa aturan yang memerlukan penjelasan lebih detail, maupun dukungan lebih lanjut.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, terdapat sejumlah rekomendasi yang dapat ditawarkan:
- Melanjutkan protokol yang saat ini sedang berjalan terkait industri pengolahan limbah mandiri, sehingga dapat mengurangi kesempatan anak-anak untuk bekerja di rantai pasokan limbah.
- Penegakan hukum dan program-program dalam lingkup RT/RW, dimana mayoritas anak-anak memungut sampah sebagai pekerjaan yang dilakukan bersama dengan keluarga dan dimana anak-anak berhak memiliki alternatif kegiatan lain seperti mengakses pendidikan dan pelatihan
- Program alokasi dana yang dilakukan oleh pemerintah harus dibuat lebih inklusif, terutama bagi anak-anak dari keluarga migran
- Sektor pendidikan harus lebih mampu melakukan penerimaan atau melakukan program transfer siswa
- Menyediakan insentif teknis atau finansial (jika memungkinkan) untuk sekolah dan pihak perantara dalam membuat bank sampah tanpa melibatkan anak-anak. Kebijakan yang diambil harus mampu membantu pihak-pihak tersebut sebagai agent of change dengan membuat bank sampah sebagai sesuatu yang menguntungkan dan berkelanjutan
- Melibatkan sektor privat untuk berinvestasi di RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak), sebagai contoh di wilayah Bantar Gebang dimana Badan Lingkungan Hidup memiliki lahan yang tidak digunakan.
- Pendataan yang lebih baik terkait pekerja anak.
- Meningkatkan kapasitas lembaga penegak hukum.
Penelitian Lainnya
Yohana Ratrin Hestyanti, Angela Oktavia Suryani, …. Gabriela Abigail | Februari 2022
Prof. Irwanto | Oktober 2017
Prof Irwanto, Harla Octarra, Prisilia Riski, Christiany Suwartono | Maret 2018
Perspectives and aspirations of adolescent girls on child marriage
Prof Irwanto, Catherine Thomas, Aida Nafisah, … Julia Candra Malida | Mei 2020