Coaching for life baseline study in north, south, and east Jakarta with save the children

Prof. Irwanto, Catherine Thomas, Nilla Sari Dewi, Bernadette Cindy Leo, Claudius Novchovick Mone Iye, Cynthia Yovita Logan, Gabriella Irena Carissa, Jessica Paramitha, Joanna Gloria D. FV, Natalia
Desipratami, Okki Sutanto, Sunar Wibowo, Wong Maria Katherina

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Jakarta merupakan rumah bagi 3,2 juta anak-anak. Walau demikian, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Save The Children dan Unika Atma Jaya, ditemukan bahwa anak-anak di wilayah Jakarta Utara, Timur, dan Selatan kerap kali mengalami permasalahan terkait dengan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak. Berkaitan dengan hal ini, berbagai pihak, termasuk pemerintah memang sudah mengeluarkan peraturan dan pedoman sebagai usaha mengatasi permasalahan yang dialami oleh anak-anak. Walau demikian, dengan usaha-usaha yang dilakukan masih ditemukan kesenjangan. Dengan demikian,  isu-isu tentang hak-hak anak, termasuk pengungsi anak masih perlu untuk didalami dan dipelajari secara lebih lanjut. Kajian ini disusun sebagai bagian dari upaya untuk memahami masalah hak dan perlindungan anak, sehingga mampu mengetahui arah dan mekanisme masa depan yang responsif terhadap kebutuhan anak.

 Pada tahun 2018, dengan dukungan Arsenal Foundation, Save the Children Indonesia melaksanakan program perlindungan anak di Jakarta Utara, Timur, dan Selatan. Uji baseline dilakukan di 7 RPTRA dan panti asuhan di wilayah tersebut (RPTRA Penjaringan Indah, Semper Barat, Rawa Badak Utara, dan Budi Mulia di Jakarta Utara, RPTRA Cililitan dan Cempaka Sari di Jakarta Timur, serta RPTRA Rasamala dan panti anak pengungsi YSTC di Jakarta Selatan). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif sehingga mampu menangkap fenomena yang terjadi secara lebih mendalam. Ada tiga kelompok peserta dalam penelitian ini: (1) Kelompok anak-anak; (2) kelompok orang tua; (3) RPTRA dan pengurus panti asuhan. Anak-anak yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah anak-anak usia 12-18 tahun yang mengikuti program Football for Resilience, anak-anak usia 10-18 tahun yang bukan bagian dari program Football for Resilience, anak laki-laki dan perempuan, anak-anak dalam dan luar sekolah, bekerja dan tidak bekerja, dan anak-anak dengan dan tanpa disabilitas. Orang tua yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah orang tua dan pengasuh anak peserta. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa beberapa masalah pelanggaran hak anak masih terjadi, mencakup: penggunaan hukuman fisik dan verbal yang keras, pelanggaran terhadap hak memperoleh pendidikan oleh orang tua dan sekolah, pelecehan seksual, dan keterlibatan anak dalam perdagangan narkoba masih sering ditemukan. Selain itu, penelitian yang dilakukan juga berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan anak-anak. Faktor-faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam keluarga, lingkungan sekolah dan teman sebaya, masyarakat, individu, aspek materi, aspek emosional, dan aspek sosial. 

Pada penelitian ini, orang tua sebagian besar berada dalam kategori berpenghasilan rendah. Mayoritas orang tua bahkan berpenghasilan dibawah standar upah minimum regional. Dari segi pendidikan, tingkat pendidikan terakhir sebagian besar orang tua hanya berada pada tingkatan SMA atau bahkan lebih rendah. Terlepas dari kondisi sosial ekonomi, kebanyakan orang tua sadar akan kerentanan anak-anak mereka. Mereka memahami situasi dan kondisi di lingkungan mereka (angka dan insiden kejahatan, perilaku berkencan, pornografi, perjudian, tekanan teman sebaya yang negatif, orang dewasa dengan niat buruk, dampak negatif dari gadget, dan sebagainya) dan telah berusaha sebaik mungkin untuk melindungi anak-anak mereka dari risiko yang ada atau yang dirasakan. Selain itu, orang tua juga berusaha menjaga keamanan anaknya dengan memantau aktivitas anaknya, meluangkan waktu berkualitas bersama anak, memberikan dukungan emosional, dan material, memberikan dukungan untuk kegiatan konstruktif. Nasehat dan perhatian yang diberikan oleh orang tua, serta dorongan positif, dan pengawasan ketat (seperti membatasi penggunaan gadget) membantu memberikan perlindungan kepada anak-anak mereka dari kerentanan terhadap risiko yang ada. Namun, terlepas dari berbagai usaha yang sudah dilakukan, hampir setengah dari anak-anak melaporkan bahwa orang tua mereka mempraktekkan hukuman fisik, verbal, dan sosial yang keras untuk mendisiplinkan mereka. Beberapa anak bahkan menyatakan bahwa orang tua mereka tidak peduli dengan mereka. 

Penelitian ini juga menemukan bahwa sumber kerentanan lain yang terkait dengan keluarga dan orang tua meliputi: memiliki orang tua tanpa dokumentasi yang memadai, orang tua yang mendorong anak perempuan untuk menikah pada usia muda karena hamil, orang tua buta huruf, orang tua tidak mengasuh anak, memiliki orang tua penyandang disabilitas, memiliki orang tua yang terlalu terikat dengan gadget, memiliki keluarga yang kasar, penggunaan gadget tanpa pengawasan, orang tua memiliki anak terlalu banyak, pendapatan keluarga yang tidak stabil, menjadi orang tua tunggal, perilaku judi orang tua, penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus, dan kurangnya pengetahuan orang tua dalam menangani anak berkebutuhan khusus. 

Selanjutnya, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan anak-anak yang terkait dengan sekolah dan teman sebaya termasuk sekolah mengeluarkan siswa dengan masalah perilaku, tekanan teman sebaya, intimidasi, dan memiliki teman yang memprovokasi untuk terlibat dalam perkelahian kelompok. Selain itu, masyarakat juga dapat meningkatkan kerentanan anak-anak. Hal ini dapat terjadi melalui: penangkapan anak-anak, mengekspos anak-anak untuk minum minuman keras dan perilaku perjudian, menyalahgunakan atau mencoba melecehkan anak secara seksual, mengekspos anak-anak pada kejahatan dan prostitusi, serta pemerasan terhadap anak. Selain itu, pengangguran dan situasi politik yang kurang stabil  juga dapat berkontribusi membuat anak-anak lebih rentan.

Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor-faktor internal dari diri anak sendiri yang membuatnya lebih rentan. Faktor-faktor seperti memiliki disabilitas fisik dan intelektual, terlibat dalam perilaku berisiko, tidak memiliki kegiatan rutin, memiliki terlalu banyak waktu luang, tidak memiliki hak dokumentasi negara, terpapar perang atau konflik, dan memiliki masalah terkait kesehatan juga berkontribusi pada peningkatan kerentanan pada anak-anak. Selain itu, faktor emosional juga berkontribusi meningkatkan kecenderungan anak. Adapun faktor-faktor emosional ini mencakup: perasaan kesepian, kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, dan kematangan emosional. Aspek material seperti hidup dalam kemiskinan, perampasan taman bermain luar ruang yang aman, perampasan hak kesehatan, sanitasi, dan kebersihan dan sumber air, minimnya tempat tinggal yang layak, tidak memiliki rumah atau tempat berteduh, tidak amannya lingkungan fisik, dan tidak bersekolah sebagai faktor yang mempengaruhi kerentanan anak. Terakhir, aspek sosial yang mempengaruhi kerentanan anak termasuk menempatkan tekanan pada anak perempuan untuk menikah karena kehamilan remaja, penerimaan sosial dari anak-anak yang bekerja, kurangnya pengetahuan tentang prosedur keselamatan selama situasi darurat, kurangnya pengetahuan dan kepekaan tentang merawat penyandang disabilitas, dan kurangnya kesadaran akan kebutuhan untuk mempersiapkan anak menghadapi dunia nyata setelah menempuh pendidikan formal.

Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi bantuan sosial dan program pro poor lainnya, Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Perlindungan Sosial Anak, Sentra Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A), program Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polri, dan program Kota Layak Anak (KLA) – bersama dengan mekanisme yang berbeda (misalnya bantuan tunai bersyarat, beras untuk masyarakat miskin, rehabilitasi sosial) dan penerima sasaran. Kesenjangan dalam pelaksanaan program-program tersebut antara lain: (1) Persyaratan dokumentasi seperti akta kelahiran dan KTP setempat yang menghalangi anak-anak untuk memanfaatkan program; (2) Prasyarat Program Keluarga Harapan bahwa anak harus terdaftar dan memiliki kehadiran minimal 85%, dimana hal ini mendiskriminasikan anak yang tidak pernah sekolah atau putus sekolah; (3) Kekhawatiran yang muncul tentang apakah RPTRA telah berhasil merangkul semua anak, termasuk yang terpinggirkan; (4) Terbatasnya jumlah sekolah umum untuk anak berkebutuhan khusus; (5) Kurangnya kepekaan dalam pelaksanaan Program Keluarga Harapan untuk menjaga harkat dan martabat penerima program; dan (6) Program pemerintah yang terus berubah seiring dengan pergantian gubernur dan pengurus. 

Adapun peluang yang muncul sebagai jawaban dari kesenjangan dan tantangan yang telah kami identifikasi sebelumnya: (1) Advokasi dan upaya harus dilakukan untuk mendidik orang tua dan membangun kesadaran mereka tentang pentingnya memproses dokumen sebagai investasi untuk masa depan anak-anak mereka; (2) Advokasi untuk mendorong program pendidikan, sistem kesehatan, dan kesejahteraan menjadi lebih inklusif terhadap semua anak; (3) Menginformasikan pembuat kebijakan dan kampanye tentang hak-hak anak yang tidak pernah bersekolah dan yang sudah putus sekolah; (4) Melakukan studi masa depan untuk menginformasikan pembuat kebijakan tentang kapasitas dan kesiapan RPTRA untuk merangkul semua anak, termasuk yang terpinggirkan dalam hal infrastruktur, sumber daya manusia, dan kapasitas keuangan; (5) Mengadvokasi pendidikan inklusif dan subsidi ke sekolah swasta untuk anak berkebutuhan khusus; (6) Mendesak para pembuat kebijakan untuk peka terhadap menjaga harkat dan martabat kaum marjinal dalam mempersiapkan mekanisme yang seharusnya berpihak pada kaum miskin; dan (7) Melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengukur kesiapan program dan tempat baru dari segi infrastruktur, sumber daya manusia, dan kemampuan keuangan, serta menjaga anak-anak ketika berinteraksi dengan orang dewasa lain di tempat. 

Pada penelitian ini, peneliti mengklasifikasikan rekomendasi menjadi dua kelompok besar. Pertama, rekomendasi yang perlu dipertimbangkan melalui program Football for Resilience: 1) Menyediakan kelas untuk meningkatkan keterampilan parenting (misalnya Positive Discipline); 2) Meningkatkan kepedulian terhadap anak berkebutuhan khusus, dengan mengadakan sesi atau diskusi terbimbing dengan anak difabel yang terlibat dalam program Football for Resilience; 3) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan renovasi RPTRA; 4) Memberikan keterampilan vokasional terkait sepak bola; dan 5) Pelatihan pertolongan pertama dalam keadaan darurat. 

Selanjutnya, rekomendasi kedua relevan untuk diambil oleh empat pihak: 1) Yayasan Sayangi Tunas Cilik: a) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua untuk mengadvokasi dan mengakses program perlindungan sosial dan lainnya, b) Melibatkan orang tua secara aktif untuk berpartisipasi dalam RPTRA sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab, c) Menyelenggarakan acara tahunan RPTRA dibantu oleh YSTC untuk berbagi pelajaran dan praktik terbaik, (d) Mengadvokasi pembuat kebijakan untuk lebih peka terhadap anggota masyarakat yang terpinggirkan; 2) YSTC dengan pemangku kepentingan terkait untuk membantu anak dalam: a) Membantu anak belajar tentang hak-hak mereka dan membekali mereka dengan keterampilan untuk mengadvokasi hak-hak mereka, b) Membantu anak-anak belajar tentang konsekuensi dari perilaku berisiko, c) Melatih anak sebagai agen perubahan dengan membentuk dewan anak, d) Membantu anak dan pengurus RPTRA untuk membentuk mekanisme pemantauan dan pelaporan yang ramah anak, e) Membentuk komite orang tua dan anak dalam upaya menjangkau anak-anak yang bermasalah dan membutuhkan perlindungan khusus; f) Memberikan bantuan teknis kepada pengelola RPTRA untuk memahami kebutuhan anak-anak dan remaja yang berisiko, g) Mengembangkan program dan kegiatan berbasis kebutuhan untuk mengatasi kerentanan anak-anak serta kesejahteraan, keamanan, dan keselamatan mereka (misalnya program untuk mengatasi cyber bullying, atau dampak negatif penggunaan gadget); 3) YSTC membantu RPTRA: a) Membantu pengurus dalam memahami anak dan perkembangannya, khususnya anak berkebutuhan khusus dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus, b) Bekerja sama dengan dewan anak untuk mengembangkan dan memantau kebijakan dan protokol RPTRA yang tepat namun ramah anak, c) Melatih relawan dan administrator untuk membantu anak-anak dalam situasi dengan risiko dan keadaan darurat yang ada, d) Merancang dan mengimplementasikan strategi advokasi untuk mempertahankan model ppp untuk menopang program dan kegiatan RPTRA; 4) Pemerintah daerah dan donatur: a) Melakukan koordinasi rutin untuk memelihara model pp untuk mendukung kegiatan dan pemeliharaan semua peralatan dan fasilitas di tempat, b) Mendukung patroli rutin untuk memastikan keselamatan dan keamanan RPTRA dan sekitarnya. Memastikan standar keselamatan tersedia untuk RPTRA, c) Bekerja dengan semua pemangku kepentingan untuk menemukan mekanisme dan strategi inovatif untuk meningkatkan inklusivitas RPTRA dan untuk meningkatkan akses anak-anak ke pendidikan berkualitas, keterampilan kejuruan, keterampilan seni dan budaya, dan layanan kesehatan terpadu, d) Membantu anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk mendapatkan kesempatan kedua melalui pendidikan nonformal dan pelatihan keterampilan, e) Mendukung penyelenggaraan acara tahunan RPTRA binaan YSTC untuk berbagi pelajaran dan praktik terbaik.

Bahasa Inggris 

Jakarta is home to 3.2 million children. However, based on the results of a study conducted by Save The Children and Unika Atma Jaya, it was found that children in North, East, and South Jakarta often experience problems related to health, education, and child protection. In this regard, various parties, including the government, have issued regulations and guidelines as an effort to overcome the problems experienced by children. However, the efforts made are still found. Thus, issues concerning children’s rights, including child refugees still need to be explored and studied further. This study was prepared as part of an effort to understand the issue of children’s rights and protection, so as to be able to identify future directions and mechanisms that are responsive to children’s needs.

In 2018, with the support of the Arsenal Foundation, Save the Children Indonesia implemented child protection programs in North, East and South Jakarta. The baseline test was conducted at 7 RPTRAs and orphanages in the area (RPTRA Penjaringan Indah, Semper Barat, Rawa Badak Utara, and Budi Mulia in North Jakarta, RPTRA Cililitan and Cempaka Sari in East Jakarta, as well as RPTRA Rasamala and the YSTC refugee children’s home in Jakarta). South Jakarta). This study uses both quantitative and qualitative methods so as to be able to capture the phenomena that occur in more depth. There were three groups of participants in this study: (1) the children’s group; (2) parent group; (3) RPTRA and orphanage administrators. Children who participated in this study were children aged 12-18 years who took part in the Football for Resilience program, children aged 10-18 years were not part of the Football for Resilience program, boys and girls, children in and out of school, working and not working, and children with and without disabilities. The parents who participated in this study were the parents and caregivers of the participants’ children.

Based on the research conducted, it was found that several problems of violations of children’s rights still happened. It  include: the use of harsh physical and verbal punishment, violations of the right to education by parents and schools, sexual interactions, and the involvement of children in drug trafficking are still common. In addition, the research conducted has also succeeded in identifying the factors that contribute to children’s vulnerability. These factors are classified into family, school environment and friends, community, individual, material aspects, emotional aspects, and social aspects.

In this study, most of the parents were in the low category. parents below regional minimum standards. In terms of education, the most recent level of education of parents is only at the high school level or even lower. Regardless of socioeconomic conditions, most parents are aware of the vulnerability of their children. They understand the situations and conditions in their environment (crime and incidences of crime, behavior, pornography, gambling, negative peer pressure, adults with bad intentions, negative effects of gadgets, etc.) and have done their best to protect children. them from existing or perceived risks. In addition, parents also try to keep their children safe by bringing their children together, spending quality time with their children, providing emotional and material support, and providing support for constructive activities. Health and Care given by parents, as well as positive encouragement, and strict supervision (such as limiting the use of gadgets) help protect children from vulnerabilities to risks. However, despite all the efforts that have been made, nearly half of the children report that their parents practice harsh physical, verbal, and social punishments to discipline them. Some children even state that their parents don’t care about them. 

The study also found that other sources of vulnerability related to family and parents include: having parents without adequate documentation, parents encouraging girls to marry at a young age due to pregnancy, illiterate parents, parents not raising children, having parents with disabilities, having parents who are too attached to gadgets, having an abusive family, using gadgets without supervision, parents having too many children, unstable family income, being a single parent, parental gambling behaviour, acceptance of people parents to children with special needs, and the lack of knowledge of parents in dealing with children with special needs.

Furthermore, factors that contribute to children’s school- and peer-related vulnerability include school expelling students with behaviour problems, peer pressure, bullying, and having provoking friends to engage in group fights. In addition, the community can also increase the vulnerability of children. This can occur through: arresting children, exposing children to drinking and gambling behavior, abusing or attempting to sexually abuse children, exposing children to crime and prostitution, and child extortion. In addition, unemployment and an unstable political situation can also contribute to making children more vulnerable.

In addition to these factors, there are also internal factors from the child himself that make him more vulnerable. Factors such as having physical and intellectual disabilities, engaging in risky behaviour, not having regular activities, having too much free time, not having state documentation rights, being exposed to war or conflict, and having health-related problems also contribute to increased vulnerability in children. child. In addition, emotional factors also contribute to increasing children’s tendencies. The emotional factors include: feelings of loneliness, lack of parental attention and guidance, and emotional maturity. Material aspects such as living in poverty, deprivation of safe outdoor playgrounds, deprivation of the right to health, sanitation, and hygiene and water sources, lack of proper housing, not having a house or shelter, insecure physical environment, and not going to school are factors affecting children’s vulnerability. Lastly, social aspects that affect children’s vulnerability include placing pressure on girls to marry due to teenage pregnancy, social acceptance of working children, lack of knowledge about safety procedures during emergency situations, lack of knowledge and sensitivity about caring for persons with disabilities, and lack of awareness. of the need to prepare children for the real world after formal education.

This research has also succeeded in identifying social assistance and other pro poor programs, the Child Social Welfare Program (PKSA), the Family Hope Program (PKH), the Children’s Social Protection House, the Integrated Service Center for Women and Children (P2TP2A), the Women’s and Children’s Service Unit program of the National Police, and the Child Friendly City (KLA) program – along with different mechanisms (eg conditional cash transfers, rice for the poor, social rehabilitation) and target beneficiaries. The gaps in the implementation of these programs include: (1) Documentation requirements such as birth certificates and local ID cards that prevent children from taking advantage of the program; (2) Family Hope Program prerequisites are that children must be registered and have a minimum attendance of 85%, which discriminates against children who have never attended school or dropped out of school; (3) Concerns have arisen about whether RPTRA has succeeded in embracing all children, including the marginalised; (4) The limited number of public schools for children with special needs; (5) Lack of sensitivity in the implementation of the Family Hope Program to maintain the dignity of the program recipients; and (6) Government programs that continue to change in line with changes in governors and administrators.

As for the opportunities that arise in response to the gaps and challenges that we have identified previously: (1) Advocacy and efforts should be made to educate parents and build their awareness about the importance of processing documents as an investment for their children’s future; (2) Advocacy to encourage education, health systems, and welfare programs to be more inclusive of all children; (3) Informing policy makers and campaigners about the rights of children who have never attended school and who have dropped out of school; (4) Conduct future studies to inform policy makers about the capacity and readiness of RPTRA to embrace all children, including those who are marginalized in terms of infrastructure, human resources, and financial capacity; (5) Advocating for inclusive education and subsidies to private schools for children with special needs; (6) Urge policy makers to be sensitive to maintaining the dignity of the marginalized in preparing mechanisms that should be pro-poor; and (7) Conduct further investigations to measure the readiness of the new program and venue in terms of infrastructure, human resources, and financial capacity, as well as look after children when interacting with other adults on site.

In this study, the researchers classified the recommendations into two major groups. First, recommendations that need to be considered through the Football for Resilience program: 1) Provide classes to improve parenting skills (eg Positive Discipline); 2) Increase awareness of children with special needs, by holding guided sessions or discussions with children with disabilities who are involved in the Football for Resilience program; 3) Things that need to be considered in planning the renovation of the RPTRA; 4) Provide football-related vocational skills; and 5) First aid training in an emergency.

Furthermore, the second recommendation is relevant to be taken by four parties: 1) Sayangi Tunas Cilik Foundation: a) Improve parents’ knowledge and skills to advocate for and access social protection programs and others, b) Involve parents actively to participate in RPTRA as stakeholders in charge, c) Organising the annual RPTRA event assisted by YSTC to share lessons and best practises, (d) Advocating for policy makers to be more sensitive to marginalised members of society; 2) YSTC with relevant stakeholders to assist children in: a) Helping children learn about their rights and equipping them with skills to advocate for their rights, b) Helping children learn about the consequences of risky behaviour, c) Training children as agents of change by forming children’s councils, d) Assisting children and RPTRA administrators to establish child-friendly monitoring and reporting mechanisms, e) Forming parent and child committees in an effort to reach children with problems and need special protection; f) Provide technical assistance to RPTRA managers to understand the needs of children and youth at risk, g) Develop needs-based programs and activities to address children’s vulnerabilities and their well-being, security and safety (eg programs to address cyber bullying, or negative impact of using gadgets); 3) YSTC assists RPTRA: a) Assists administrators in understanding children and their development, especially children with special needs and children who need special protection, b) Collaborating with children’s councils to develop and monitor appropriate but child-friendly RPTRA policies and protocols, c) Train volunteers and administrators to assist children in situations with existing risks and emergencies, d) Design and implement advocacy strategies to maintain the PPP model to support RPTRA programs and activities; 4) Local government and donors: a) Perform routine coordination to maintain the PP model to support activities and maintenance of all equipment and facilities on site, b) Support routine patrols to ensure the safety and security of RPTRA and its surroundings. Ensure safety standards are in place for RPTRAs, c) Work with all stakeholders to find innovative mechanisms and strategies to increase the inclusiveness of RPTRAs and to increase children’s access to quality education, vocational skills, arts and cultural skills, and integrated health services, d) Helping children who need special protection to get a second chance through non-formal education and skills training, e) Supporting the organisation of the YSTC-supported RPTRA annual event to share lessons and best practises.